Pajak Penghasilan PPh Pasal 23


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah salah satu bentuk sistem pemotongan dan pemungutan pajak (witholding tax) di Indonesia. Penamaan Pasal 23 iitu sendiri mengacu


kepada Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukumnya. Ada tiga unsur atau syarat berlakunya PPh Pasal 23 yaitu ada pemotong pajak, ada objek pajak dan ada penerima penghasilansebagai fihak yang dipotong pajak. Apabila ketiga unsur itu memenuhi maka pemotong pajak harus melakukan pemotongan pajak kepada penerima penghasilan atau penghasilan sebagai objek pajak yang dibayarkannya. Apabila salah satu tidak dipenuhi maka tidak berlakulah ketentuan PPh Pasal 23. Misal, pemberi penghasilannya bukan pemotong pajak atau penghasilan yang dibayarkannya bukan objek pemotongan PPh Pasal 23 atau penerima penghasilannya bukan wajib pajak.
Siapakah Pemotong dan Yang Dipotong PPh Pasal 23?
Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan (UU nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2000 dan akan diubah lagi tahun ini), pemotong PPh Pasal 23 adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pemotongan PPh Pasal 23 ini dilakukan apabila ada penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, yang dipotong PPh Pasal 23 adalah penerima penghasilan yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.
Pada umumnya, Wajib Pajak Orang Pribadi bukanlah pemotong PPh Pasal 23. Namun demikian, berdasarkan Pasal 23 ayat (3) Undang-undang PPh, Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu sebagai pemotong PPh Pasal 23. Nah, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1994, Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 adalah : 
  1. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;


  2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.


    Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut menjadi pemotong PPh Pasal 23 setelah adanya keputusan penunjukan sebagai pemotong pajak dari Kepala KPP yang bersangkutan. Setelah ada keputusan penunjukkan barulah ia bisa memotong PPh Pasal 23 itupun terbatas pada  penghasilan berupa sewa saja.


Objek Pemotongan, Tarif dan Sifat Pemotongan PPh Pasal 23
Pada umumnya, PPh Pasal 23 dikenakan terhadap penghasilan berupa penghasilan dari modal (dividen, bunga, royalti dan sewa)  dan jasa-jasa tertentu. Adapun besarnya tarifnya adalah sebagai berikut :
  1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah dan penghargaan.
  2. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat final dikenakan kepada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.
  3. 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenai jenis penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Silahkan klik Daftar Tarif PPh Pasal 23 untuk mengetahuinya.


    Bukan Objek Pemotongan PPh Pasal 23
Pasal 23 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan daftar penghasilan-penghasilan tertentu yang tidak ipotong PPh Pasal 23 yaitu :
  1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
  2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
  3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh;
  4. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j UU PPh;
  5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh;
  6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
  7. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.”